Pada umumnya masyarakat Bali‑Lombok nama Danghyang Nirartha adalah sebuah
nama yang cukup terkenal terlebih lagi dikalangan sejarahwan, beliau ini
dikenal sebagai pengarang besar yang produktif dan memiliki wawasan luas
tentang Phalekerta (Hukum), Kalpasastra (kesenian dan sastra), Tattwa
(filsafat), Nittisastra (ilmu kepemimpinan) dan bidang‑bidang sosial religius.
Nama lain dari
Danghyang Nirartha adalah Pedanda Sakti Wahu Rawuh, Resi Dwijendra dan Tuan
Semeru beliaulah yang membangun dan mendirikan Pura Batubolong dimana sampai
saat ini tetap dilestarikan dan disucikan oleh Umat Hindu yang ada di Lombok.
Pura Batubolong
berlokasi di Jalan Raya Senggigi kurang lebih 13 Km dari Kota Mataram dan
dibangun diperkirakan pada pertengahan abad ke‑XV oleh Danghyang Nirartha.
Beliau datang ke Lombok untuk kedua kalinya pada tahun 1533 Masehi menggunakan
Perahu Layar milik seorang Nelayan Suku Sasak‑Lombok yang terdampar di Pantai
Ponjok Batu Desa itulah perbatasan antara Kabupaten Beleleng dan Karangasem‑Bali.
Pada saat itu
seorang nelayan ditemukan dalam kondisi kritis karena berhari‑hari tidak makan
kemudian perahunya rusak dan bocor terombang‑ambing arus gelombang laut serta
angin kencang akhirnya nelayan tersebut selamat atas pertolongan Sang Resi dan
masyarakat pesisir Pantai.
Kemudian
bermodal Perahu Layar yang rusak dan bocor tadi Sang Resi bersama seorang
Nelayan tersebut dapat menyebrangi Selat Lombok dengan menyisir pantai utara Pulau
Lombok.
Anehnya selama
perjalanan, air laut betulbetul landai dan tenang serta ditambah dengan
hembusan angin barat sehingga dalam waktu sekejap Sang Resi dan seorang Nelayan
tadi sampai di Pesisir Pantai Enjung Ukur/Bukur Dusun Malimbu Desa Malaka
Kecamatan Pemenang Lombok‑ Utara Kabupaten Lombok Barat.
Disana beliau
beristirahat dan melaksanakan semadi sehingga sampai sekarang ada kita jumpai
Pura Tanjung Ukur/Bukur dan 2 km arah tenggara kita jumpai Pura Teluk Sekedik
dimana sampai saat ini tetap ajeg sering dikunjungi umat.
Dari Teluk Sekedik
beliau melanjutkan perjalanan kearah utara sampai di Enjung Kaprus karena
disaat air laut pasang disana dapat kita jumpai sebuah gua kecil bila kena
deburan ombak yang keras akan mengeluarkan semburan air ke atas dengan
ketinggian bisa mencapai sepuluh meteran sehingga pura yang ada disana disebut
Pura Kaprusan.
Beranjak dari Pura
Kaprusan Sang Resi menyisir pantai arah timur kurang lebih 3 km dan sampailah
beliau di Karang Bolong untuk beristirahat.
Dalam peristirahatan
itulah beliau mendirikan Pelinggih di Enjung Karang Bolong untuk melaksanakan
Semadi dan sekarang kita kenal dengan sebutan Pura Batubolong karena di Enjung
itu terdapat Batu besar yang berlubang atau bolong.
Batu besar yang
berlubang/bolong tersebut sering dijadikan jalan penyebrangan oleh masyarakat
setempat dari Pantai Duduk ke Pantai Ejung Karang Bolong pada saat‑saat air
surut karena pada abad ke‑XVIII jalan raya sekarang ini belum ada.
Beranjak
dari Karang Bolong Sang Resi kembali menyisir pantai ke arah tenggara melalui
kokol meniti (Kali Meninting) dan Kokol Jangkok (Kali Jangkok) kemudian dari
Ampenan Sang Resi melanjutkan perjalanannya menuju Karang Medain, Lingsar dan
Suranadi.
Di Suranadi Sang
Resi banyak memberikan pelajaran kerohanian kepada masyarakat setempat tentang
Kalpasastra dan Phalakerta serta ajaran keseimbangan hidup yang di kenal dengan
Sukerta Tata Pawongan, Sukerta Tata Palemahan dan Sukerta Tata Pagaman.
Artinya keharmonisan
hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya dan
manusia dengan Tuhan Pencipta jagad raya ini yang sering disebut TRIHITA
KARANA.
Sejalan dengan konsep ajaran Sang Resi sampai
sekarang dapat kita jumpai ditengah-tengah masyarakat Suku Sasak dan Suku Bali ada
di‑Lombok tetap dapat menjalin rasa persatua.
dan kesatuan serta budaya gotong-royong
terutama pada saat acara‑acara kekeluargaan.
Selanjutnya
kembali kita menengok Pura Batubolong bahwa keberadaannya sesuai dengan konsep
Khayangan Jagad di‑Bali yang selalu mengambil tempat di gunung dan di tepi
pantai dekat laut, karena secara kasat mata gunung dan laut memberikan nuansa
panorama yang indah dan segar tetapi mampu memberikan getaran spriritual yang
berdimensi kearah kesucian, kekhusukan dan kedamaian.
Secara filosofis, konsepsi segara gunung adalah simbol
Purusa‑Predana sebagai lambang kehidupan jasmani dan rohani yang seimbang
sehingga dapat mendorong kearah penghayatan dan keheningan dalam mengagungkan
kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
Apabila dilihat dari sisi tempat Pura Batubolong
sangat ideal sekali karena perpaduan antara
gunung dan laut menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga tidak mengherankan
Pura Batubolong sangat dikenal dan banyak dikunjungi, tidak saja oleh umat
Hindu sendiri tapi touris-touris domestik maupun mancanegara.
Melihat keberadaan Pura Batubolong yang indah dan
alami pada pertengahan abad ke‑XVI secara berangsur‑angsur terus dibenahi oleh
umat yang berdomisili di Karang Ujung Ampenan dan Kampung Tanambet artinya
masyarakat‑nya sebagian besar melek aksara sehingga sekarang lebih dikenal
dengan sebutan Dusun Tanah Embet Desa Batulayar Kecamatan Batulayar Kabupaten
Lombok Barat.
Kemudian bila kita membaca Awig‑awig Banjar Tanah
Embet yang sudah ada sejak 1782 Masehi, di Dusun ini banyak tokoh‑tokoh agama/ masyarakat
yang sudah mengabdikan diri mengadakan perbaikan‑perbaikan atau renopasi di
Pura Batubolong seperti ; I Wayan Kusamba, I Made Pedoman dan I Gde Sari pada
jaman nyeneng Anak Agung Dewata Sakti.
Kemudian I Wayan Siman dan I Wayan 'Sari pada jaman
nyeneng Anak Agung Dewata Ring Rum dan I Gde Nakti, Mangku Gde Subrata, Mangku
Gde Drawi, Mangku Made Nagging dan I Made Teges pada jaman nyeneng Anak Agung
Ngurah awal abad ke‑XIX.
Selanjutnya di era tahun 1970‑1980‑an sampai sekarang Pujawali Pura
Batubolong dilaksanakan setiap tahunnya pada Purnamaning Kasa atau Srewana
sekitar bulan Juni dan Juli.
Sedangkan pelaksanaan
upacara dan upakara Pujawali di emong oleh 7 krama banjar yang ada di kecamatan
Batulayar dan dikoordinir oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia Kecamatan
Batulayar.